Sabtu, 24 Desember 2016

payung simbol adat alas

Bagi masyarakat Alas di Aceh Tenggara,
keberadaan payung tak hanya berfungsi
sebagai simbol adat pada upacara-upacara
perkawinan, sunat rasul, atau prosesi
penyambutan tamu-tamu penting saja.
Lebih dari itu, mereka meyakini payung
memiliki "tuah" tersendiri yang sering
dijadikan media untuk bernazar. Di
wilayah pesisir payung adat umumnya
berwarna kuning terang dengan sulaman
dari kasab atau manik-manik motif Aceh.
Di beberapa tempat seperti Aceh Barat dan
Selatan ada juga payung berwarna merah.
Sedangkan di Alas payung adat berwarna
hitam dengan bordiran berasal dari warna-
warna merah, kuning, dan hijau, yang
disebut dengan payung mesikhat.
Uniknya, motif payung mesikhat tidak
terbuat dari kasab atau pun manik-manik,
melainkan dibordir dengan gambar-gambar
khusus yang menceritakan perjalanan
masyarakat Alas semasa lajang hingga
selesai prosesi perkawinan.
Banyak hal bisa diambil dari gambar-
gambar tersebut adalah:
Sedang Bujang, gambar ini menunjukkan
bagaimana pergaulan muda-mudi alas
diatur oleh adat istiadat, beberapa aturan
dalam keseharian muda-mudi alas tidak di
boleh menjalin hubungan dengan "anak
malu" yang artinya muda-mudi yang
tinggal se-kampung, satu marga dan yang di
katagorikan muhrim dalam agama islam.
Nembah Mido Hukum, bila sudah ada niat
berumah tangga/menikah maka pasangan
menjumpai wali dari pihak perempuan
untuk meminta diberi hukum adat dan
agama sebagai pasangan suami-istri, istilah
"ngampeken" dalam hukum adat alas untuk
pasangan yang kawin lari atau pernikahan
yang tidak direstui oleh wali dari pihak
calon mempelai perempuan ini merupakan
aib bagi orang alas.
Sedang Nutu, bila setelah ada persetujuan
dari wali untuk upacara memberi hukum
secara adat dan agama, maka segenap
warga akan bergotong royong
mempersiapkan acara pesta tersebut seperti
menggiling padi secara tradisional yang
disebut "nutu" dalam bahasa alas oleh
kaum perempuan dan untuk kaum laki-laki
biasanya menyiapkan "lape" tempat untuk
memasak dan tempat menerima tamu di
halaman rumah serta mencarikan buah
nangka, kelapa, pepaya dan keperluan pesta
lainnya
Sohken Bekhas Seselup Lawe Sentabu,
dalam acara hukum adatnya ada prosesi
dimana mempelai perempuan memberikan
beras satu bambu dan air dalam tabu yang
sudah di olah menjadi tempat penyimpan
air kepada ibu mempelai perempuan, hal
ini dianggap sebagai tukar ganti dari
perempuan kepada ibunya yang selama ini
membantu pekerjaan ibunya, karena setelah
menikah mempelai perempuan akan tinggal
di rumah mempelai lelaki.
Antat Takhuh, Mempelai perempuan akan
di antar ke rumah mempelai lelaki oleh
segenap warga desa asal mempelai
perempuan.
Jinto Kude, saudara laki-laki ibu mempelai
perempuan dalam bahasa alas disebut
"mame" biasanya menyiapkan kuda untuk
tungganggan mempelai perempuan dan
mempelai laki-laki diarak oleh peserta antat
takhuh menuju rumah mempelai lelaki.
Pesandingken, setelah sampai kerumah
mempelai lelaki pasangan mempelai di
dudukkan bersandingkan untuk dilihat oleh
warga desa dan undangan, untuk disamami
sambil mengucapkan selamat menjadi
penganten baru.
Laus Tandang, setelah perempuan tinggal
dirumah lelaki sebagai suami-istri,
hubungan silaturahmi dengan keluarga
pihak istri harus tetap di jaga dengan
mengunjungi orang tua perempuan dalam
hari-hari adat dengan membawa makanan
yang telah dimasak dimasukkan kedalam
rantang.
Pembuat mesikhat tak boleh asal-asalan,
minimal mereka harus mengetahui budaya
masyarakat Alas, dan memiliki ketelatenan
serta kesabaran tinggi. Karena tak mudah,
di Alas tidak banyak yang bisa membuat
payung tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar